Be Bi Pro News, JAKARTA
- Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang kemarin
menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat
yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat
marak menjelang akhir Orde Baru karena terbukti terbukanya niat Benny
menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina
dan orang Kristen.
Kesaksian Salim Said ini
merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang
tidak terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998,
yang akan saya bongkar di bawah ini.
“Bersama Presiden
Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh
demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris]
pada malam itu para pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr.
Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega
tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik
pembicaraan, situasi politik waktu itu…
Moerdani berbicara
mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu, ‘Sudah tua, bahkan sudah pikun,
sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah
waktunya diganti’…Benny kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan
untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, ‘Kalau menggunakan massa, yang
pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.‘ “
– Salim Said, Dari
Gestapu Ke Reformasi, serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316
A. Peristiwa 27 Juli
1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia
Selanjutnya bila kita
hubungkan kesaksian Salim Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa dua
hari sebelum kejadian Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi
serangan terhadap kantor PDI dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar
Hubungan Mega dan Orba sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli
2002 dan Kamis, 1 Agustus 2002.
Maka kita menemukan
bukti adanya persekongkolan antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada Soeharto karena
dicopot dari Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan Megawati untuk menaikkan seseorang dari keluarga
Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto, kebetulan
saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit
kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:
“Sebelum mendekati
Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu.
Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat
dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat
hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba
renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?
Orang-orang PDI yang
dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun
ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.”
Dari ketiga catatan di
atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996,
antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri; Dr. Soerjadi; Sofjan
Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah “eureka moment” yang
membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama
kali menyebar pamflet untuk regenerasi kepemimpinan Indonesia dan diganti
Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan dari pihak Mabes ABRI.
Dr. Soerjadi adalah
orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di Kongres Medan
(kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan massa menyerbu
kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen
ganda bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM
Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah
Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya,
A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Semua fakta ini juga
membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal
18 Januari 1998 yang mana menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani;
Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah
dokumen asli dan otentik serta bukan dokumen buatan intelijen untuk
mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim oleh Budiman Sejatmiko selama ini.
Ini menjelaskan mengapa
Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus
mengeluarkan kalimat pahit kepada anak buahnya seperti “siapa suruh kalian mau
ikut saya?” dan justru memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing: SBY
yang memimpin rapat penyerbuan Operasi Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan
penyerbuan Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan Hendropriyono yang pura-pura
melawan koleganya.
Megawati melakukan bunuh
diri bila menyelidiki kejahatannya sendiri!
Bila dihubungkan dengan
grup yang berkumpul di sisi Jokowi, maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman
Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di
pihak Poros JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi
presiden.
B. Kerusuhan Mei 1998,
Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikkan Megawati
Soekarnoputri ke Kursi Presiden.
Pernahkah anda mendengar
kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS
mendeislamisasi Indonesia? Ini fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang
sudah membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari Kopassus di masa
kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi
ruang kerja perwira bawahan, dia melihat sajadah di kursi dan bertanya “Apa
ini?”. Jawab sang perwira, “Sajadah untuk shalat, Komandan.”
Benny membentak, “TNI
tidak mengenal ini.”
Benny juga sering
mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan
perwira yang mau sholat Jumat.
Hartono Mardjono
sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan
perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya
kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan
dua dari Islam.
Penelitian Salim Said
juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya,
misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering
menghadiri pengajian, diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat
kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap fanatik, sehingga sejak saat
itu karir militernya suram.
Silakan perhatikan siapa
para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa
Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try
Sutrisno; Wiranto; Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum
Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard
Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri; Adolf Rajagukguk;
Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan
bahwa perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam
atau Islam abangan (yang tidak dianggap “fanatik” atau berada dalam golongan
“islam santri” menurut versi Benny).
Inilah yang dilawan
Prabowo antara lain dengan membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan
oleh kelompok Benny Moerdani namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status
quo dari kalangan perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang
menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia itu.
Mengapa Benny Moerdani
dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan
oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan
komunis, namun setelah komunis kalah, dia membuat analisa bahwa lawan Amerika
berikutnya di Indonesia hanya dua, “Hijau ABRI”
dan “Hijau Islam”.
Lalu, Peter Beek
menyimpulkan, ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS
yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul : Sofjan Wanandi, Jusuf
Wanandi, Harry Tjan Silalahi ; mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani
(baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya
ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia
membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, “Hijau ABRI” dan “Hijau Islam”.
Tidak percaya gerakan
anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok
anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan satu
per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu
mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto
mangkat).
Ada Agum
Gumelar-Hendropriyono (dua « malaikat » pelindung/bodyguard Megawati
yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi
Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan
Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada
Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah
Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat
bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai
KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
“Jadi, kau harus
tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah
dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu.“
(Salim Said, halaman
320)
Tentu saja Wiranto
membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani, namun kita
memiliki cara membuktikan kebohongannya. Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf
Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto,
Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai
sebagai “ABRI Hijau”, dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut
sudah disingkirkan Wiranto.
Ketika dikonfrontir
mengenai hal ini, Wiranto mengatakan cerita “daftar nama” adalah bohong. Namun
bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa
melihat bahwa memang terjadi banyak perwira “hijau” di masa Wiranto yang waktu
itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.
Fakta bahwa Wiranto
adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto
menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan
terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa
Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada
mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan
Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto.
Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan
karir dan menistakan Prabowo.
Membicarakan “kebejatan”
Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang
ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima
ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara
serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.
Berdasarkan temuan fakta
di atas, bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan
rasial, dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto,
maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari
barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.
Selain itu tiga fakta
yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang Kerusuhan
Mei 98 adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan lawan
menggunakan “gerakan massa” adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani)
dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman
Siregar, binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat
oleh Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 74 terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF
Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat
cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang
yang terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira
lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani
yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi
taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun
Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan
Tempo-Gramedia).
Lagipula saat kejadian
terbukti Benny Moerdani sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa
orang lapangan saat kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!
3. Alasan Megawati
setuju menjadi alat Benny Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah
sepakat tidak terjun ke politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi
Megawati mungkin adalah karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami
istri dan Soekarno sendiri pernah melamar Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya
itu untuk Megawati, namun kemudian Benny memilih Hartini wanita yang menjadi
istrinya sampai Benny meninggal (Salim Said, halaman 329).
Berdasarkan semua fakta
dan uraian di atas maka kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan Kelompok
Benny Moerdani, dalang Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di
belakang Jokowi-JK dengan mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP,
Hanura, Golkar) untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum
terpuaskan sebab Prabowo menjadi penghalang utama mereka ketika mencoba
mendeislamisasi Indonesia.