Be Bi Pro
News, Jakarta -
PDI P dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) telah menelan Pil Pahit dalam
pertarungan merebut kursi pimpinan dan alat-alat kelengkapan Dewan Pimpinan
Rakyat (DPR) dinilai karena terlalu percaya diri alias "PeDe" yang
berlebihan sejak pemilu Legislatif (Pileg) digelar.
Percaya diri PDI Perjuangan terlalu berlebihan
dan akibatnya partai pendukung Jokowi suka salah langkah dan menjadi
blunder," kata mantan Ketua MPR dari unsur Partai Golkar Hajriyanto Y.
Thohari ketika dihubungi, Senin (6/10).
Menurut dia, langkah-langkah PDI Perjuangan dan
parpol Koalisi Indonesia Hebat tersebut justru menciptakan sebuah labirin
sendiri. Ironisnya mereka sendiri tidak bisa menemukan jalan keluar sehingga
membuat PDI Perjuangan keok melawan KMP.
Kepercayaan diri yang terlalu tinggi itu bisa
dilihat dari pernyataan-pernyataan PDI Perjuangan yang selalu mengecilkan
pihak-pihak yang tidak sejalan dengan mereka. Hal ini menurutnya masih ditambah
dengan sikap parpol itu yang selalu menuduh orang yang tidak sejalan
dengan keinginan mereka dengan tudingan tidak pro rakyat, tidak pro demokrasi
dan sebagainya.
“Yah contohnya adalah pada masalah UU Pilkada,
mereka menuduh KMP mengkhianati rakyat karena menginginkan pilkada lewat DPRD.
Mereka menolak alasan KMP bahwa pemilihan lewat DPRD adalah bentuk implementasi
dari sila ke 4 Pancasila. Sekarang ketika tahu dan mengalami kekalahan demi
kekalahan, pada pemilihan pimpinan MPR, mereka meminta agar tidak dilakukan
secara voting tapi melalui musyawarat mufakat seperti bunyi sila ke 4
Pancasila,” tambahnya.
Komunikasi yang sewajarnya yang seharusnya
dilakukan dilakukan oleh partai politik terhadap partai politik lainnya pun
menurutnya tidak dilakukan. Komunikasi politik yang dilakukan partai pendukung
Jokowi ini tambahnya sangat terbatas dan itupun dilakukan secara parsial
sehingga dampaknya bukannya terjadi perpecahan di tubuh KMP tapi justru semakin
solid.
“Komunikasi politik yang dilakukan komunikasi
yang sangat terbatas dan itupun dilakukan secara parsial, maksudnya komuikasi
politik atau pendekatan terhadap parpol dilakukan satu-satu dan tidak pernah
mengajak semuanya untuk duduk satu meja demi membahas panggilan negara.Bukan
hanya mengajak PPP, PAN dan Golkar sendiri, tapi semua yang ada di KMP,” kata Hajrianto.
Sebaliknya cara Jokowi berpolitik justru
menciptakan perpecahan di tubuh koalisi pendukungnya. Jokowi kerap tidak mampu
melihat fakta dan kenyataan bahwa dalam politik diperlukan konsistensi,
sementara Jokowi dan para pendukungnya kerap menunjukkan inkonsistensi dalam
sikap dan pernyataan.
“Contohnya adalah pernyataan ingin membuat
kabinet ramping, kabinet profesional, elit tidak boleh rangkap jabatan, koalisi
tanpa syarat dan sebagainya.Itu semua sangat sulit direalisasikan dan
diimplementasikan. Jokowi nampaknya belum memahami hal itu. Jangankan KMP,
didalam internal koalisi pendukung Jokowi bingung dengan kondisi ini. Mereka
kelah mengeluh karena mereka membutuhkan satu kepastian politik.Jokowi tidak
paham bahwa dalam politik masalah take and give adalah hal biasa yang penting
bagaiman itu tidak disalahgunakan,” paparnya.
Dia pun mengingatkan kalau PDIP tidak terus
ingin mengalami kekalahan lagi kedepannya, maka PDIP harus merubah cara dan
komunikasi politiknya.Jokowi jelasnya bisa memanfaatkan JK untuk melakukan
komunikasi politik karena JK relatif bisa lebih diterima oleh seluruh unsur
partai yang ada.
”Semua ini fakta yang tidak bisa dinafikan, KMP
solid dan kokoh.Kalau masih menggunakan pola komunikasi yang sama yang selalu
mengklaim dan menuding pihak KMP, maka KMP akan semakin solid dan PDIP justru
akan mengalami kekalah demi kekalahan kedepannya,” tandasnya.
Sumber : rmol.com