Text Line

Kita Bangsa yang Besar, Jangan Mudah Untuk Diadu Domba

Teks

Mohon Maaf Jika Anda Kurang Nyaman, Karena Blog Masih Dalam Perbaikan

Senin, 28 Januari 2013

Sejarah Wilayah Suku Karo



Sejarah Dan Kediaman


Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba umumnya untuk Batak Tapanuli. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.


Eksistensi Kerajaan Haru-Karo
Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan“. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)

Terdapat suku Karo di Aceh Besaryang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.


Wilayah Suku Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Tanah Karo
Tanah Karo terletak di kaki Gunung Sinabung. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau “Taneh Karo Simalem”. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut trites.Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.

 
Kota Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

 
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Dairi
Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang merupakan Taneh Karo:

  • Kecamatan Taneh Pinem
  • Kecamatan Tiga Lingga
  • Kecamatan Gunung Sitember

Kabupaten Deli Serdang
Sebagian kabupaten Deli Serdang yang merupakan Taneh Karo:

  • Kecamatan Lubuk Pakam
  • Kecamatan Bangun Purba
  • Kecamatan Galang
  • Kecamatan Gunung Meriah
  • Kecamatan Sibolangit
  • Kecamatan Pancur Batu
  • Kecamatan Namo Rambe
  • Kecamatan Sunggal
  • Kecamatan Kuta Limbaru
  • Kecamatan STM Hilir
  • Kecamatan Hamparan Perak
  • Kecamatan Tanjung Morawa
  • Kecamatan Sibiru-biru
  • kecamatan STM Hulu
  • Kabupaten Langkat
Kabupaten Langkat
Taneh Karo di kabupaten Langkat meliputi:

  • Kecamatan Selesai
  • Kecamatan Kuala
  • Kecamatan Salapian
  • Kecamatan Bahorok
  • Kecamatan Pd.Tualang (Batang Serangan)
  • Kecamatan Sungai Bingai
  • Kecamatan Stabat

Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
  • Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
  •  Kecamatan Simpang Simadam
  •  Kabupaten Aceh Tenggara
  •  Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Simalungun
Taneh Karo di kabupaten Simalungun meliputi:
  • Kecamatan Doloksilau
  • Sebagian Kecamatan Silimakuta (contohnya: desa Rakut Besi)
  • Petanggalan

Rabu, 23 Januari 2013

KAIN ADAT KARO

1. Uis Nipes Benang Iring

Ukuran : 154 x 62 cm

 Penggunaan :  

  1. Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita.



2. UIS Nipes Padang Rusak


 Ukuran : 146 x 74 cm
 Penggunaan :
  1. Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.
  


3. Gatip Jongkit 

 Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter Teguh dan Ulet

Ukuran : 164 x 96 Cm



Penggunaan :
  1. Sebagai Penutup Kepala wanita Karo (tudung) baik pada pesta maupun dalam kesehariannya.
  2. Untuk beberapa daerah, diberikan sebagai tanda kehormatan kepada kalimbubu pada saat wanita Karo meninggal Dunia (Maneh-maneh dan morah-morah)



4. UIS Ragi Barat
  

Ukuran : 144 x 65 cm
Penggunaan :

  1. Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian.
  2. Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.



5. UIS Nipes Mangiring  

Ukuran : 148 x 64 cm

Penggunaan :
  1. Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu dalam upacara adat duka cita



6. Batu Jala 

Ukuran : 146 x 84 cm

Penggunaan :
  1. Kain ini dipakai wanita Karo lanjut usia sebagai tutup kepala (tudung) dalam upacara yang bersifat duka cita
  2. Pada beberapa daerah, kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (Maneh-maneh) pada saat orang yang sudah lanjut usia meninggal.



7. UIS Arinteneng 


 Ukuran : 140 x 84 cm
Penggunaan :
  1. Alas pinggan pasu yang dipakai pada waktu penyerehan mas kawin
  2. Alas piring makan pengantin saat makan bersama dalam satu piring pada malam hari usai pesta peradatan (man nakan persadan tendi/mukul) 



8. UIS Kelam-kelam


Ukuran : 169 x 80 cm

Kain ini bukan kain tenun manual, tapi hasil pabrik tekstil yang dicelup warna hitam menggunakan pewarna alami.
Penggunaan :
  1. penutup kepala wanita Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro aron.
  2. Kain ini juga digunakan sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada saat wanita lanjut usia meninggal dunia (morah-morah)



9. UIS Pementing

 Ukuran : 168 x 72 cm

Penggunaan :  
  1. Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung. 



10. UIS Jongkit Dilaki

 Uis Jongkit Dilaki menunjukkan karakter kuat dan perkasa.

Ukuran : 172 x 96 Cm

Penggunaan :
  1. Sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje (sebagai kain sarung). Kain ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.



11. UIS Beka Buluh 
 
Uis Beka Buluh ini memiliki ciri Kegembiraan, Tegas dan juga Elegan. Kain Adat ini merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo.

Ukuran : 166 x 86 Cm
 Penggunaan:
  1. Sebagai Penutup Kepala. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai oleh pria/putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Kain ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut)
  2. Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.
  3. Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu (Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh. 



12. UIS Jujung-jujungen 
 Untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat. 


 Ukuran : 120 x 54 cm

Penggunaan :
  1. Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar penutup kepala wanita (tutup tudung) dengan umbai-umbai emas pada bahagian depannya.




13. UIS Perembah

 Ukuran : 160 x 67 cm

Penggunaan :
  1. Untuk menggendong bayi
  2. Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh Kalimbubu seiring doa dan berkat agar anak tersebut sehat-sehat, cepat besar dan menjadi orang sukses dalam hidupnya kelak.



14. UIS Julu Diberu


Ukuran :
  1. Penggunaan :Untuk pakaian wanita bagian bawah (sebagai sarung) untuk upacara adat yang diharuskan berpakaian adat lengkap.

 sumber : http://karo-medan.blogspot.com/2010/05/pakaian-adat-karo.html

Senin, 07 Januari 2013

Profie Ucein Amein Karo-Karo

Marga - Marga Suku Mandailing


Tari Khas Mandailing
Pada jaman dahulu asalnya tiap-tiap kampung dengan kampung-kampung yang lain, ditempati oleh satu marga. Akan tetapi lama kelamaan, perpindahan dan lain-lain hal ketika jaman penjajahan atau daerah yang satu marga kemudian orang-orang yang dari beda marga datang atau juga sebaliknya marga itu yang mendatangi marga lain. Contoh umpama marga A dan marga B, antara satu marga sama lainnya bisa menikah, dikarenakan oleh perkawinan dari satu marga dengan marga yang lainnya maka terdjadilah marga baru teradap anaknya. Oleh karena itulah terdapat bermacam-macam dan banyak marga pada tiap-tiap kampung, dan sekarang sangat sulit bagaimana mengetahui suku mana yang berasal dari kampung tersebut. Kemudian Marga itulah yang berkembang di muka kampung atau negeri. Biasanya pada tiap kampung memiliki hanya dua marga saja yang pertama marga yang punya kampung itu, dan lainnya marga yang datang ke kampung itu, namanya di-Mandailing bayo-bayo.

       Maka dari itu seperti yang telah kita katakan tadi, bahwa perpindahan itu terdjadinya atas dua marga, marga yang satu nikah dengan marga yang didapatinya itu. Marga yang boleh bersiambilan menikah itu akan menyebabkan dibangunnya marga-marga yang berperinggan dengan dia. Demikianlah marga yang punya negeri itu ada punya bayo-bayo, dan bayo-bayonya ada pula punya bayo-bayo, jadi dengan keadaan begitu lama kelamaan di dalam satu kampung berbagai macam marga. 

        Marga-marga itu, yang tertentu umpamanya di-Mandailing julu dan Pakantan, adalah:
  1. Lubis (Lubis  yang terbagi atas Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro)
  2. Nasutio
  3. Parinduri
  4. Batu Bara
  5. Matondang
  6. Daulae
  7. Nai Munte
  8. Hasibuan
  9. Pulungan
      Sementara untuk didaerah Mandailing Godang, terdapat marga-marga  :
  1. Nasution. Ini terbagi beberapa bagian:
  • Nasution Panyabunga
  • Nasution Tambangan
  • Nasution Borotan
  • Nasution Lantan
  • Nasution Jior
  • Nasution Tonga
  • Nasution Dolok
  • Nasutian Maga
  • Nasutian Pidoli
  • d.l.l.
    2. Lubis
    3. Hasibuan 
    4. Harahap
    5. Batu bara
    6. Mantondang (Turunan Hasibuan)
    7. Rangkuti
    8. Mardia
    9. Parinduri
   10. Batu na Bolon
   11. Pulungan
   12. Rambe
   13. Mangintir
   14. Nai Monte
   15. Panggabean
   16. Tangga Ambeng
   17. Margara
 (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
   
      Marga-marga yang diterangkan diatas tidak dapat dipastikan dan ditentukan dari mana datangnya. Tetapi menurut data laporan dari Dr. Junghuhn, yang telah diutus oleh Regeering (Gouvernement) ke-Tapanuli dalam tahun 1840, diantara marga-marga itu tidak ada yang didapat lagi dari bangsa Batak, tetapi sama sekali asal muasal turunan itu sudah bukan merupakan dari bangsa Batak. "Menurut data tersebut di Mandailing bukan merupakan bangsa Batak"
(Dikutip dari Majalah Mandailing, 1920an)
 
     Sedangkan menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga :
  1. Pulungan
  2. Baumi
  3. Harahap
  4. Siregar
  5. Dalimunte
  6. Daulay
    Masih menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan di Padang Lawas, terdapat marga-marga :
  • Harahap
  • Siregar
  • Hasibuan
  • Daulay
  • Dalimunte
  • Pulungan
  • Nasution
  • Lubis
     Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain :
  1. Babiat
  2. Dabuar
  3. Baumi
  4. Dalimunthe
  5. Dasopang
  6. Daulae
  7. Dongoran
  8. Harahap
  9. Hasibuan
  10. Hutasuhut
  11. Lubis
  12. Nasution
  13. Pane
  14. Parinduri
  15. Pasaribu
  16. Payung
  17. Pohan
  18. Pulungan
  19. Rambe
  20. Rangkuti
  21. Ritonga
  22. Sagala
  23. Simbolon
  24. Siregar
  25. Tanjung
(Sumber : Wikipedia)