Text Line

Kita Bangsa yang Besar, Jangan Mudah Untuk Diadu Domba

Teks

Mohon Maaf Jika Anda Kurang Nyaman, Karena Blog Masih Dalam Perbaikan

Jumat, 30 November 2012

Sejarah Suku Karo

MIGRASI
   Pada pra-sejarah terjadi perpindahan bangsa-bangsa termasuk di Asia yang khusus ke Indonesia datang dari Asia Selatan dan Tenggara. Percampuran darah terjadi antar  bangsa-bangsa tersebut dengan penduduk yang telah bermukim sebelumnya di Nusantara ini merupakan nenek moyang kita dan pada umumnya yang mendiami pesisir sebagai orang  bahari.

   Menurut Versi Karo: Leluhur hidup dari menangkap ikan, bertani, berburu, berdagang, mengarungi samudra luas. Hal ini diceritakan bersambung hampir setiap malam di lantai lumbung padi yang dinamakan ‘Jambur’ dari purbakala hingga menjelang tahun 1940 di daerah yang penduduknya suku Karo .

   Cerita yang bersambung mengenai seluk beluk asal muasal suku Karo, kebudayaan, bahasa dan adat istiadat serta perjuangan hidupnya biasanya di namakan ‘Turi-turin atau Terombo Karo’. Setiap cerita ditayangkan  melalui lagu merdu pada malam hari sampai dini hari selama tujuh malam.

   Aku dulu pernah mendengarkan cerita bersambung itu sebelum memasuki bangku sekolah. Karena sudah dilalui puluhan tahun, bisa jadi ada kelupaan dalam menguraikan  inti sarinya, terutama pencocokan daerah kejadian saat dipergunakan  pengetahuan umum geografi dan sejarah dunia atau nasional dalam keadaan tertentu menurut suasana hikayatnya.

   Pada pokok hikayat di uraikan bahwa nenek moyang itu datang ke pesisir Indonesia umumnya dan  Sumatera khususnya  yang menurut logat mereka “reh ku pertibi si la ertepi  enda” dari dua “negeri nini pemena” yaitu leluhur Pemula, datang dari dari negeri yang disebut “YUNA ( YUNAN )”  ialah dari Cina Selatan dan Asia Tenggara serta “BARAT” yakni Asia Selatan (India , Pakistan, Banglades, dan lain- lain).

   Yang datang dari negeri “Yuna” itu masih tergolong “animisme” atau “agama pemena”, sedangkan yang bersal dari “Barat” sudah beragama, yaitu agama Budha. Suku-suku bangsa pesisir yang saling bercampur darah (perkawinan) sesamanya inilah merupakan nenek moyang  suku  Karo  setelah kelak masuk ke daerah pedalaman (Pembauran).


PEMUKIMAN DATARAN TINGGI  KARO  
    Leluhur kita yang  yang bermukim disepanjang  pesisir Sumatera  berkembang  memeluk  kepercayaan yang beraneka ragam yaitu animisme, Budha, Hindu, dan lain-lain, sebelum maupun sesudah berdiri Negara Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan Negara Nasional II (Keprabuan  Majapahit) antara abat VII-XVI.

   Karena pekerjaan nenek moyang kita selaku kaum bahari dan pedagang, maka sudah jelas merekapun bergaullah dengan orang asing yang memeluk pelbagai agama, termasuk  Muslim, sehingga kian lama makin banyaklah agama yang dianut penduduk.

   Perbedaan agama pun tak dapat dihindahkan. Yang dalam turi-turi Karo diceritakan bahwa dalam satu keluarga mungkin terdapat dua atau beberapa kepercayaan yang berlainan, antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga bangsa asing yang memeluk pelbagai macam agama datang ke Indonesia untuk berdagang sambil menyiarkan agamanya masing-masing. Selain membawa keagamaan juga mengenai kebudayaan yang mempengaruhi tata kehidupan penduduk.

   Demikianlah seorang pedagang Venesia benama Marcopola pada tahun 1292 telah menyaksikan perkembangan pesat penyiaran agama Islam didaerah Aceh yaitu Samudera Pasai dan Peureulak. Pada tahun 1345, menurut Ibnu Batulah, sudah mapan benar agama Islam sebagai anutan  penduduk Di Samudra Pasai, yang keterangannya ini diperkuat pula oleh musyapir Cina bernama Ceng Ho, yang berkunjung ke daerah tersebut tahun 1405.

    Menurut versi karo, pada masa-masa itulah terjadi perubahan tata kemasyarakatan yaitu kaum yang tak hendak memeluk agama Islam membentuk kelompok-kelompok. Lalu berpindah ke daerah pedalaman meninggalakan sanak keluarga yang telah mayoritas beragama Islam. Kemudian agama Islam meluas berkembang sepanjang pesisir; terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

  Kemudian maka terjadilah apa yang dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”, yaitu mengadakan pengungsian secara besar-besaran  dengan bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke negeri asal buat selama-lamanya. Diceritakan pada masa itu hutan raya di daerah pedalaman belum dihuni  oleh manusia .

    Bahasa “kita” ialah cakap melawi - , yang kemudian berubah seperti yang sekarang ini. Perubahan bahasa terjadi akibat peroses pembauran melalui puak-puak yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang masuk kepedalaman dari arah pantai Timur maupun dari arah pantai Barat, pulau Sumatera.

    Mereka yang tertinggal sudah memeluk agama Islam dan hijrah tidak hendak memeluk Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan belantara itu, sangat sukar, perlu ada pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk dan beranggapan bahwa ditempat yang dituju itu religinya/kepercayannya itu akan aman dilanjutkan sebagai warisan nenek moyangnya.

    Diketahui dalam hikayat bahwa pemeluk Islam, selalu mangadakan pendekatan dengan saudara-saudaranya yang kini berada di wilayah pegunungan dan bergaul saling berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya mempertahankan kebiasaan memuja religi nenek moyangnya itu pelan-pelan  ditinggal mereka dan mereka memeluk Islam. Atau diam-diam status quo, sementara menimbang-nimbang mana patut dilanjutkan dan mana patut diterima, atau ditolak.

   Selanjutnya perjalanan yang sedemikian jauhnya yang disebut ke-dataran tinggi dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah” yang baru kemudian di berikan nama “TANAH KARO SI MALEM”

PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI ENGGO KA REH IBAS  DESA SI WALUH  NARI
   “Tanah Karo Si Malem”  artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mati, akan dipertahankan selamanya. 

   "Pertibi Pertendin Merga Silima" artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari : Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin- angin.

   “Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari” artinya: untuk jangka waktu yang lama  tak henti-hentinya datang rombongan pengungsi dari segala penjurui mata angin (delapan  penjuru) kedataran tinggi, sehingga menjadi buah bibir setiap ada rombongnan terlihat datang dari pesisir, terucaplah kata-kata, enggo ka reh… enggo kalakreh enggo kalakreh…( Kareh ) kemudian berubah sebutannya kalak reh, kareh … kare, Karo, menjadi … KARO, yang artinya  kalak= orang . reh = datang, Karo = orang datang. Artinya menjadi; orang yang datang sengaja mengungsi untuk mempertahankan religinya/kepercayaaannya. Mereka datang dan mengharukan, sebab perjalan mereka itupun jauh, lebih kita terharu, KALAK AROE = KARO Mereka itu melanglang, berani, harus keras hati, mandiri, budi luhur tetapi suka bermusyawarah dan mau menerima atau tidak kaku.

    Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring sebelum berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat” tempo dulu sudah memiliki Indentitas berupa Merga dan Cabang  Merga, seperti Merga Ginting dan Merga Tarigan bersasal dari YUNA (Wilayah Selatan; bahkan ada hubungan atas serangan Mongolia dari utara Jengis Khan  dsb).

   Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun temurun. Oleh karena itu sekalipun kelompok itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk mengelompokkannya sesuai Merga yang disebutkan orang yang baru datang. Di Suku Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki cabang untuk setiap marga. Sekalipun ada cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya keseluruhannya. Keseluruhan cabang Merga Silima hanya ada 75 cabang.

   Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo di dataran tinggi diperkirakan pengungsian awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1660-an sehingga disimpulkan bahwa sudah ada orang Karo tahun 1300-an.

   Orang Karo yang datang dengan rombongan tempo dulu ke hutan rimba raya tidaklah besar, sekalipun persyaratannya berangkat “KUH SANGKEP SITELU” yaitu Kalimbubu, Senina, Anak Beru. Contohnya dalam cerita bahwa rombongan KARO mergana, berangkat dari LINGGA RAJA menuju dataran tinggi, sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu pegunungan antara “Tiga Lingga-Tiga Binanga” terpaksa di tunda perjalannya. Sekalipun jumlah rombongan sebelas, tetapi tertinggal anak beru-nya Perangin-angin mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal atau memberi gantinya sebagai  “anak beru”.

   Terpenuhilah syarat tadi, tiba mereka disuatu lokasi dan mendirikan “KUTA LINGGA PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan diantara  Karo-Dairi disebutkan oleh  orang Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiap orang Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah satu diantara lima marga tersebut diatas, sebab barang siapa yang yang tidak hendak memakai indentitas demikian, tidak akan diakui sebagai “Kalak Karo” yang dinamakan “nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu terjadi orang yang “tercela akhlaknya” di desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa mejunjujung tinggi merganya atau menggantinya, orang yang memeluk agama Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu seraya mengaku orang Melayu kampung atau “kalak Maya-Maya” terutama di Karo Jahe dan lain- lain .

   Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU KARO, dahulu ada orang dari suku lain sekalipun yang oleh sebab misalnya, mengadakan perkawinan dengan orang Karo bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru pada salah satu merga diantara yang lima tersebut. “Merga” ialah indentitas pria yang diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan “beru”. Beru adalah indentitas wanita yang diturunkan terhapa putra-putrinya umpamanya , beru Karo, diturunkan kepada putra putrinya dengan sebutan bere-bere  Karo.

    Semua indentistas tersebut merupakan lambang suci yang dalam bahasa Karo dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya untuk menghitung berapa tingkat keturunan telah berlangsung merga bersangkutan hingga dirinya sendiri sejak dari nenek moyang yang dahulu berangkat dari negeri asalnya yaitu (Barat) bagi keturunan Karo-Karo, Perangin- angin dan Sembiring, sedangkan  “Yuna” untuk Ginting serta Tarigan.

    Hitungan jumlah tingkat keturunan itu dinamakan “Beligan Kesunduten Nini Adi” yang dahulu turun temurun diceritakan sehingga tahulah sesorang akan asal usul dan  nenek moyangnya. Putra-Putri yang seketurunan pantang mengadakan kawin mawin sesamanya, sebab indetitasnya akan sama buat selama-lamanya, kendatipun dengan memakai “Sub Merga”, yaitu “nama khusus” yang diciptakan berdasarkan keluarga tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu peristiwa dahulu yang merupakan aliran darah khas pula, namun harus tunduk kepada pokok merga, Merga Silima.

   Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam-macam suku atau puak bangsa yang oleh pengaruh lingkungan daerahnya membentuk watak, adat istiadat dan masyrakatnya yang tertentu yang mempunyai perasamaan serta perbedaaan dengan suku-suku bangsa Indonesia lainnya, namun bersifat “mandiri” dalam arti sejak dahulu bebas merdeka mengatur pemerintahannnya.

   Akan tetapi karena Tanah karo merupakan daerah pedalaman yang tidak akan dapat berswasembada dalam segala hal akan kebutuhan hidupnya, maka terpaksa jugalah mereka mengadakan hubungan dengan “suku” atau “bangsa lain” terutama mengenai bahan makanan seperti garam  yang disebut “Sira”.

   Mereka langsung menyebarkan penduduknya keluar batas dataran tinggi karo yang berguna sebagai daerah pengubung dan penyangga serangan dari luar yang menurut logat mereka dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu Dagang” yang kini daerah-daerah tersebut ialah Aceh Tenggara, Dairi, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.

   Pulu dagang ialah pedagang yang membeli garam dan lain-lain di pesisir seperti di Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Singkel yang di angkut ke ‘Taneh Pengolihen-Tanah Karo” oleh satu rombongan manusia yang diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada juga mempergunakan “Kuda Beban” sebagai alat pengangkutannya. Setiap rombongan perlanja Sira dikawal oleh pasukan bersenjata, sebab waktu itu di Deleng Kuh Sangkep (nama bukit barisan yang terletak di bagaian selatan Tanah Karo) maupun di Deleng Merga Silima (nama Bukit Barisan dibagian dataran tinggi Karo) banyak penyamun serta binatang buas.

    Untuk mengenal kawan dipakailah kata “sandi atau kode” di pegunungan sebelah utara  tanah Karo setiap berpapasan dengan rombongan manusia lain diucapkan “Merga” yang kalu kawan menjawab..”Si Lima” yang dilanjutkan dengan. "Taneh Pengolihen" yang dijawab teman “Karo Simalem” bila mana tidak sesuai jawabnya dianggap “musuh”, demikian sekelumit ceritanya  maka nama pegunungan yang puncak-puncaknya antara lain gunung Sinabung dan gunung Sibayak dinamakan orang  Karo "Deleng Merga Silima".

Sumber : karobukanbatak.wordpress.com